LENSA PERISTIWA

PROFIL DESA BULAN

“BULAN: Di Antara Adat dan Angin Zaman”

Di sebuah sudut hijau di Manggarai, ada sebuah desa yang namanya terdengar lembut, puitis, dan mengambang seperti langit malam. Namanya Desa BULAN. Tapi tunggu dulu... bukan karena di desa ini banyak orang mendongak menatap bulan sambil merindu. Nama "BULAN" ini ternyata hasil dari sebuah akronim kreatif: Bung, Gulung, Leko, Anam, Nangka — lima kampung tua yang membentuk desa induk.

Konon, sebelum negara punya peta dan undang-undang, orang Manggarai sudah lebih dulu hidup tertib. Mereka punya sistem pemerintahan sendiri, berbasis adat, bukan admin. Ada Tua Gendang, Tua Teno, Tua Golo, dan Tua Panga — semacam “menteri kabinet adat” yang mengatur komunitas berdasarkan tanah ulayat. Wilayah mereka disebut Lingko Peang Gendang One. Luasnya tidak sampai viral, tapi cukup untuk menjaga kedamaian dan urusan kambing tetangga yang nyasar.

Lalu datanglah pengaruh luar. Dari arah selatan, meluncur kekuasaan Kesultanan Gowa. Bukan hanya bawa pasukan, tapi juga sistem baru: Dalu dan Gelarang. Sistem ini menggabungkan beberapa kampung ke dalam satu wilayah administratif. Nah, dari sinilah bibit ide pembentukan “desa” modern mulai tumbuh.

Waktu terus berjalan — kadang dengan cepat, kadang seperti jalan rabat yang belum diaspal. Tahun 1959, Desa BULAN sah dan legal secara hukum sebagai desa definitif, lengkap dengan lima kampung aslinya.

Namun, seperti anak-anak remaja yang merasa sudah cukup besar untuk punya kamar sendiri, tahun 1999, dua kampung — Leko dan Gulung — memisahkan diri dan membentuk Desa Pong Leko. Tinggalah BULAN dengan empat kampung yang tersisa: Bung, Lagur, Anam, dan Nangka. Meskipun "BULAN"-nya sudah tidak utuh lima huruf, semangat dan silaturahmi tetap bulat penuh.

Dari Sejarah ke Statistik

Desa BULAN kini berjarak ±21 kilometer dari pusat Kabupaten Manggarai. Letaknya strategis, udaranya segar, dan penduduknya ramah—terutama kalau tidak ditagih iuran mendadak.

Desa ini memiliki luas wilayah ±9,39 km², dengan 4 dusun, puluhan mata air (seperti Wae Wau, Wae Cenga, Wae Mengge), serta DAS Wae Mese yang membentang dari Timur ke Barat — seperti cinta pertama yang tak pernah padam.

Penduduknya sekitar 3.364 jiwa, mayoritas Katolik (99,17%), dan yang tak kalah penting, 50,24% pria dan 49,76% wanita, jadi hampir seimbang — cocok untuk kampung yang tidak terlalu drama soal jodoh.

Pendidikan di sini? Cukup beragam. Dari PAUD sampai SMA ada. Dan hebatnya, desa ini sudah punya 1 orang S2 — satu orang yang kalau bicara, biasanya ditunggu semua dulu karena dianggap “berisi”. Tapi tantangannya juga ada: masih ada 569 warga yang belum atau tidak sekolah, tantangan yang sedang dihadapi dengan semangat gotong royong.

Masyarakat Desa BULAN hidup dari bertani dan beternak. Dari sawah mereka panen padi, dari kebun mereka panen jagung, dari halaman mereka panen tomat dan lombok, dan dari kandang mereka panen suara ayam dan babi. Dalam angka, hasil pertanian cukup membanggakan. Contohnya, 543 ton padi berhasil dipanen hanya dalam satu musim!

Soal peternakan, angka tidak main-main: ada 300 ekor sapi, 369 babi, dan 1.025 ayam kampung. Kalau semua ayam serentak berkokok, itu bukan fajar — itu konser.

Selain bertani, desa juga punya potensi wisata. Di Dusun Lagur, ada Golo Nawang, sebuah bukit kecil yang menyuguhkan panorama luar biasa: dari sana terlihat Ruteng, Satar Mese, hingga Langke Rembong. Cocok untuk camping, konten Instagram, atau melamun soal masa depan.

Pemerintah Desa dan Sarana

Desa BULAN punya kantor desa yang sudah permanen dan cukup lengkap. Ada laptop, printer, dan bahkan 150 kursi plastik, cukup untuk menampung semua peserta rapat desa atau panitia ulang tahun RT.

Namun masih ada yang perlu ditingkatkan. Balai desa belum ada, taman bacaan masih impian, dan sebagian besar drainase masih manual alias digali gotong-royong dan penuh daun jambu.

Di bidang kesehatan, desa punya satu puskesmas dan empat rumah posyandu. Cukup aktif, tapi tantangan seperti WC darurat yang masih banyak dan akses air bersih di beberapa titik jadi PR bersama.

Penutup

Desa BULAN adalah potret perpaduan antara adat dan modernitas. Di satu sisi masih terikat erat pada nilai-nilai leluhur, di sisi lain terus berbenah mengikuti irama zaman.

Orang BULAN boleh tinggal jauh dari pusat kota, tapi mereka tidak pernah jauh dari semangat membangun. Dengan gotong royong, adat yang kuat, dan kadang diselingi canda tawa khas kampung, desa ini terus menulis ceritanya — dari gendang adat, ke kantor desa, hingga lembaran pembangunan masa depan.

Karena bagi mereka, jadi orang kampung bukan soal tempat tinggal...
Tapi soal jati diri.